Teruntuk kamu, yang berwajah tenang,
Ketika aku menuliskan tulisan ini, rupanya sudah cukup lama sejak aku
melepaskanmu. Aku sudah sempat lupa dulu lebih mengakrabimu dengan
panggilan apa, elang penjelajah rimbakah? atau, gunung biru? Aku cuma
ingat sosok kokoh dan parasmu yang jernih, yang sempat membuatku
berpikir, mungkin Tuhan menciptakanmu dari segelas susu putih hangat.
Kalau kemudian ini adalah pucuk surat cinta… harus kuakui, bahwa
walaupun aku telah melepasterbangkanmu dengan rela, cinta itu cuma
berkurang manifestasinya. Residunya sendiri akan mengerak abadi di sudut
hati. Menunggu waktu saja. Aku tetap percaya, pada kehidupan tak
bermasa nanti, aku akan dipertemukan kembali denganmu. Aku pernah bilang
begitu pada Tuhan…
Jadi, untuk sementara ini cukuplah. Mengenal dan mengharapkanmu sudah
membuatku melangkahkan kaki jauh dari batas yang kupikir tadinya tak
mungkin kulalui. Keberanian-keberanian untuk mengalahkan kegelisahan
sendiri, menjejakkan kaki ke bukit-bukit yang pernah kau lalui, kutempuh
hanya demi merasakan bagaimana menjadi kamu. Aku ingin mengecap dingin
dan letih yang menggigitimu di puncak pendakian atau rawa-rawa yang
senyap. Bahkan kuhikmati kegamangan dan debar haru ketika kau melawat
tujuh puncak dunia, kisah-kisah yang sebelumnya tak pernah kudengar.
Terima kasih sudah membukakan mata dan mengukuhkan derapku. Kau benar,
surga-surga kecil di dunia itu adanya di kesunyian alam.
Seluruh rasa yang pernah menyala padamu itu mungkin serupa
gunung-gunung yang kauakrabi. Teguh dan diam, tak berlalu ke mana-mana,
bersembunyi dalam relung gua-gua di kelebatan rimbanya.
Ketika tulisan ini kutulis, kubakar agar abunya terbang sampai di
halamanmu, aku tak merasa bersalah sedikit pun. Cinta itu tak bersalah,
dia hanya perlu tahu diri akan batas-batas dan tidak menginginkan milik
orang lain. Selamanya penilaianku akan tetap sama: kau, matahari pagiku.
No comments:
Post a Comment