Wednesday, February 5, 2014

Bisakah?

Aku tak pandai berkata-kata. Aku hanya bisa melakukan apa yang mungkin membuatmu bahagia.

Bisakah hanya dengan memberikan senyumku kau mengetahui betapa bahagianya aku berada di sampingmu?

Bisakah hanya dengan mengelus kepalamu saat kau sedih, kau tahu betapa pedulinya aku?

Bisakah hanya memberitahumu jangan begadang ya supaya bisa bangun pagi, kau sadar, kau adalah Pagi-ku?

Bisakah hanya dengan mengirimi-mu secangkir kopi setiap pagi kau mengetahui aku mencintaimu?

Atau bisakah kau membaca surat cinta ini, lalu kau sadar bahwa yang aku bicarakan itu dirimu?

Bisakah sesederhana itu?

Selepas Terbang

Teruntuk kamu, yang berwajah tenang,

Ketika aku menuliskan tulisan ini, rupanya sudah cukup lama sejak aku melepaskanmu. Aku sudah sempat lupa dulu lebih mengakrabimu dengan panggilan apa, elang penjelajah rimbakah? atau, gunung biru? Aku cuma ingat sosok kokoh dan parasmu yang jernih, yang sempat membuatku berpikir, mungkin Tuhan menciptakanmu dari segelas susu putih hangat.

Kalau kemudian ini adalah pucuk surat cinta… harus kuakui, bahwa walaupun aku telah melepasterbangkanmu dengan rela, cinta itu cuma berkurang manifestasinya. Residunya sendiri akan mengerak abadi di sudut hati. Menunggu waktu saja. Aku tetap percaya, pada kehidupan tak bermasa nanti, aku akan dipertemukan kembali denganmu. Aku pernah bilang begitu pada Tuhan…

Jadi, untuk sementara ini cukuplah. Mengenal dan mengharapkanmu sudah membuatku melangkahkan kaki jauh dari batas yang kupikir tadinya tak mungkin kulalui. Keberanian-keberanian untuk mengalahkan kegelisahan sendiri, menjejakkan kaki ke bukit-bukit yang pernah kau lalui, kutempuh hanya demi merasakan bagaimana menjadi kamu. Aku ingin mengecap dingin dan letih yang menggigitimu di puncak pendakian atau rawa-rawa yang senyap. Bahkan kuhikmati kegamangan dan debar haru ketika kau melawat tujuh puncak dunia, kisah-kisah yang sebelumnya tak pernah kudengar. Terima kasih sudah membukakan mata dan mengukuhkan derapku. Kau benar, surga-surga kecil di dunia itu adanya di kesunyian alam.

Seluruh rasa yang pernah menyala padamu itu mungkin serupa gunung-gunung yang kauakrabi. Teguh dan diam, tak berlalu ke mana-mana, bersembunyi dalam relung gua-gua di kelebatan rimbanya.

Ketika tulisan ini kutulis, kubakar agar abunya terbang sampai di halamanmu, aku tak merasa bersalah sedikit pun. Cinta itu tak bersalah, dia hanya perlu tahu diri akan batas-batas dan tidak menginginkan milik orang lain. Selamanya penilaianku akan tetap sama: kau, matahari pagiku.